Senin, 03 Oktober 2011

Modernisasi Dan Pendidikan Berbasis karakter

MODERNISASI DAN PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER

Kemajuan peradaban manusia tidak bisa dipisahkan dengan kemampuan manusia sebagai agen perubahan (agent of change) untuk selalu maju, berkembang serta menguasai ilmu Pengetahuan dan teknologi. Proses manusia dalam kemajuan peradaban telah dilakukan dari waktu ke-waktu, melalui berbagai tahapan dari yang bersifat natural maupun pada tahapan yang sistematis dan modern.
Perkembangan peradaban melalui cara natural/alamiah cenderung berjalan lambat, oleh karenanya pola fikir manusia mengarah pada sistem pendidikan formal sebagai upaya pegembangan Sumber Daya Manusia (Human Resources). Sistem pendidikan yang terstruktur pada Lembaga-lembaga Pendidikan merupakan formulasi yang tidak terbantahkan lagi dalam mengembangkan kemampuan manusia dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kini Ilmu dan Teknologi yang ditandai dengan modernisasi berkembang sedemikian pesat serta mengantarkan kehidupan masyarakat pada sistem global, dimana masyarakat dunia seolah tidak lagi terpisahkan oleh batas teritorial negara. Modernisasi juga telah menjadikan kehidupan umat manusia serba mudah dan cepat, bahkan peradaban modern terkadang dimaknai sebagai kehidupan yang serba instant, yang berimbas pada menurunya kreatifitas dan pola pikir masyarakat (terutama bagi kalangan anak muda).
Dampak sosial dari kecanggihan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tidak sedikit menjadi menipisnya batas-batas kemanusiaan (Dehumanisasi). Penyebabnya, modernisasi hanya dimaknai sebagai produk peradaban manusia tanpa diimbangi dengan nilai-nilai transendental/ke-Ilahi-an. Bisa jadi ini merupakan cerminan makna dari filosofi Cogigo Ergo Sum-nya Descartes yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual semata dalam mencapai kemajuan, sehingga tidak mengherankan pengesampingan nilai-nilai kemanusiaan menjadi inokulum penyakit sosial masyarakat.
Konsep modernisasi yang lebih dahulu berkembang pada masyarakat barat (Eropa) memang memiliki latar belakang yang berlawanan dengan perkembangan pola hubungan manusia yang memegang teguh pada tradisi lokal maupun nilai-nilai luhur yang transendental tersebut. Pada awalnya, modernisasi memiliki kedekatan dengan paham materialisme Hedonistis yang mana paham ini mengajarkan bahwa benda (materi) dan kehidupan duniawi adalah tujuan hidup manusia. Sehingga dewasa ini modernisasi identik dengan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama. Pertentangan antara konsep modernisasi dengan nilai-nilai budaya lokal dan nilai-nilai agama-pun sering kali terjadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Samuel Huntington sebagai gejala perbenturan peradaban (Class of Civilization).
Kondisi ini tentu tidak menjadi keinginan masyarakat yang secara umum menginginkan landasan moral dan etik sebagai penyanggah ilmu pengetahuan. Karenanya, perlu ada formulasi yang akurat dalam mewujudkan kehidupan modern dilihat dari berbagai sisi manapun, terlebih adalah pemaknaan modernisasi sebagai sebuah kondisi yang juga memiliki dampak pada pembangunan karakter manusia (Human Caracter).
Dalam konteks ke-Indonesiaan, hal ini telah lama menjadi wacana publik tetapi praktek modernisasi yang mengkesampingkan nilai-nilai kemanusiaan terus berjalan sampai saat ini, sehingga modernisasi selalu berjalan beriringan dengan pengesampingan nilai-nilai kemanusiaan. Maka tidak mengherankan, apabila penerapan kehidupan modern dengan tindakan amoral - baik itu pejabat pemerintah atau masyarakat- bagaikan dua keping mata uang.

Pentingnya Pendidikan Karakter
Dampak sosial akibat pemaknaan sempit modernisasi telah demikian parahnya terjadi pada kehidupan masyarakat. Kejadian-kejadian yang dulunya asing di kalangan masyarakat menjadi pandangan wajar, kejahatan hampir terjadi dimana-mana, kenakalan remaja sudah demikian parah, korupsi dianggap sesuatu yang lumrah dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan akibat pola hidup yang materialistis dan hedonostis yang mengkesampingkan nilai-nilai moral.
Menerapkan pola hidup modern serta menjadi bagian dari modernisasi memang menjadi tanggungjawab semua pihak dan menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Semua elemen masyarakat tentu memiliki andil untuk menjadi agen modernisasi, tentu dengan tugas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Akan tetapi perlu diingat, bahwa modernisasi tetap harus sejalan dengan nilai-nilai luhur yang berbasiskan moral. Oleh karenanya, sedari dini pendidikan berbasiskan karakter yang mengedepankan ketaatan sebagai mahluk Tuhan YME dan norma-norma agama, prilaku/budi pekerti, sopan santun/tata krama mutlak diterapkan dalam sistem pembelajaran, artinya lembaga pendidikan formal tidak hanya bertanggungjawab dalam menciptakan insan intelektual an sich tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Penerapan pendidikan berbasis karakter memang memerlukan perhatian lebih, karena tidak bisa hanya mengandalkan pemberian materi secara textbook di sekolah (lembaga formal) saja, akan tetapi perlu keterlibatan faktor informal yaitu lingkungan/keluarga. Keterlibatan keluarga dalam implementasi pendidikan karakter berfungsi sebagai kontrol terhadap perkembangan peserta didik di luar sekolah. Sudah lazim apabilah interaksi peserta didik itu lebih banyak dengan lingkungan dan keluarga dari pada di lingkungan sekolah yang mungkin hanya 6-7 jam per hari.
Akan tetapi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik sehingga pelaksanaan pendidikan karakter secara informal belum memberikan kontribusi maksimal. Salah satu alternatif pelaksanaan pendidikan karakter ini adalah dengan model collage, atau yang telah berkembang sejak lama adalah pendidikan pesantren. Model ini akan memadukan antara teori yang didapatkan pada pelajaran sekolah serta implementasi dalam bentuk bimbingan, arahan serta pengawasan yang hampir 24 jam di lingkungan pesantren. Semoga dengan penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah kualitas SDM Indonesia akan menjadi lebih berkualitas baik dari kapasitas keilmuan dan berintegritas moral tinggi. Semoga!!!

Bikin ngacay liat Blog ini.. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar